Budaya Bersepeda Dikalangan Masyarakat Perkotaan di Indonesia era 50 Tahun Terakhir (1960-an – 2018)
Oleh: Rifki Syawaludin
.
.
.
.
Bersepeda merupakan salah satu latihan aerobik yang terbaik dan juga merupakan cara yang baik untuk membina pernapasan jantung dan kebugaran otot. Salah satu keindahan bersepeda adalah bahwa kita dapat memperkuat tubuh dan jiwa secara simultan. Para peneliti mengatakan bahwa bersepeda sama baiknya dengan lari dan berenang untuk mendapatkan kebugaran. Bersepeda sebanding dengan lari, aerobik, renang dalam latihan jantung, dan sama dengan beberapa aktivitas untuk mencapai berat badan, ketahanan dan kekuatan otot. Selain itu, bersepeda dapat pula membantu meningkatkan rasa sejahtera dan menikmati hidup yang lebih produktif serta bahagia.
Segmentasi pengguna sepeda di Indonesia sangat beragam. Mereka berasal dari semua umur baik yang muda maupun yang lanjut usia dan dari semua kalangan baik yang miskin maupun yang kaya. Bahkan kira-kira sejak umur 2-3 tahun, para orang tua mengajari anak-anaknya bersepeda yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar pada anak.
Penggunaan sepeda sendiri di Indonesia sangat beragam, mulai dari alat transportasi sampai sekadar hobi sampingan belaka sebagai pengisi waktu luang yang mengusir kepenatan saat bekerja. Sejak tahun 1960-an, bahkan beberapa tahun sebelumnya, masyarakat Indonesia khususnya yang berada di perkotaan telah menjadikan sepeda sebagai alat transportasi mereka selain kendaraan umum yang ada seperti trem dan mobil yang saat itu hanya dimiliki oleh kalangan berada saja. Jika kita melihat sebuah tayangan di situs berbagi video youtube, disekitar tahun 1960-an masyarakat Jakarta yang menjadi barometer masyarakat perkotaan di daerah lainnya di Indonesia banyak menggunakan sepeda sebagai alat transportasi mereka untuk mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya.
Kita bisa melihat bukan hanya satu, puluhan, bahkan ratusan orang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi mereka, mereka menyeberangi jalan, menyusuri jalanan di kota, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1970-an, sepeda mulai menjadi alat yang fungsional dengan munculnya sepeda ”kumbang”, sepeda ”jengki”, sepeda ”unta”, dan sepeda ”ontel” produksi Jepang, China, Eropa, maupun produk dalam negeri serta model ”sepeda gunung”, terjemahan bebas dari mountain bike yang muncul pada tahun 1990-an.
Pada tahun 1980-an, penggunaan sepeda mulai menjadi trend dikalangan anak muda pada masa itu. Mengapa hal demikian terjadi? Saya rasa hal itu terjadi mungkin karena sepeda dianggap sebagai sesuatu yang romantis bagi anak muda pada masa itu setelah munculnya film “Gita Cinta dari SMA” yang diperankan oleh Rano Karno dan Yessi Gusman sebagai Galih dan Ratna pada tahun 1979. Salah satu adegan di film tersebut menggambarkan Galih mengantarkan pulang Ratna dengan memboncengnya menggunakan sepeda walaupun banyak siswa lainnya yang menggunakan mobil maupun vespa.
Namun, penggunaan sepeda sebagai alat transportasi nampaknya juga mulai tergusur pada dasawarsa 70-an sampai 80-an karena munculnya industri kendaraan bermotor roda dua yang dipelopori oleh perusahaan industri terbesar di Indonesia saat itu, Astra, mulai mengeluarkan jenis motor Honda dan jenis mobil Toyota dengan keunggulannya pada masa itu yang dipromosikan melalui siaran “Mana Suka Siaran Niaga” di TVRI. Minat beli masyarakat cukup tinggi mengingat efisiensi kendaraan tersebut dibandingkan sepeda pendahulunya sehingga akhirnya menggeser sepeda dari kendaraan transportasi menjadi kendaraan hobi atau yang dapat saya sebut sebagai lifestyle. Sejak kelahiran sepeda gunung itulah arah kebiasaan orang bersepeda bergeser lagi dari alat transportasi fungsional perlahan menjadi kegiatan hobi dan akhirnya menjadi gaya hidup perkotaan.
Memasuki dasawarsa pertama era milenial abad ke-21, penggunaan sepeda sebagai alat transportasi di ‘ambil alih’ oleh kalangan anak sekolah mulai dari SD sampai SMA. Banyak pelajar yang masih menggunakan sepeda pada masa itu selain penggunaan alat transportasi umum yang ada, naik jemputan sekolah, maupun diantar-jemput oleh orang tua untuk berangkat ke sekolah. Namun, menginjak dasawarsa kedua abad ke-21, sekitar tahun 2010-an, saya merasakan sendiri mulai banyak anak usia sekolah yang meninggalkan sepeda dan kemudian beralih ke transportasi lain seperti kendaraan umum, seperti angkot, bahkan mengendarai sepeda motor sendiri yang notabene mereka belum memiliki izin untuk mengendarai jenis kendaraan bermotor jenis apapun. Mungkin mereka sudah menganggap sepeda sebagai sesuatu yang kuno dari berbagai sudut pandang.
Ada beberapa faktor kemungkinan yang memengaruhi pemikiran mereka seperti itu, pertama, beberapa tayangan di televsi mulai menunjukkan bahwa penggunaan sepeda dikalangan pelajar itu sudah tidak keren lagi, kedua, teman-teman sebaya mereka sudah tidak menggunakan sepeda lagi untuk ke sekolah, ketiga, orang tua mereka menuntut agar sudah pandai mengendarai kendaraan bermotor (dalam hal ini sepeda motor) sedini mungkin dan menganggap penggunaan sepeda itu kuno seperti zaman mereka dijangkiti ‘virus’ Gita Cinta dari SMA pada tahun 1980-an yang telah saya sebutkan tadi.
Pada dasawarsa kedua abad ke-21 ini juga sebagai tahun-tahun “kebangkitan” kembali penggunaan sepeda sebagai alat transportasi oleh masyarakat kalangan pekerja di daerah perkotaan. Pada sekitar tahun 2011 sampai 2013, mulai muncul gerakan “Bike to Work” sebagai alternatif pengganti kendaraan bermotor penyebab meningkatnya Global Warming atau pemanasan global yang terjadi di seluruh belahan bumi yang sedang hangat dibicarakan pada tahun-tahun itu.
Kegiatan-kegiatan seperti Fun Bike maupun Car Free Day juga sudah mulai rutin diadakan dibeberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, dan lain sebagainya. Dalam kegiatan-kegiatan seperti itu biasanya menjadi ajang silaturahmi para penggiat “Bike to Work” yang tadinya hanya satu orang kini menjadi komunitas yang mungkin jumlahnya mencapai ratusan orang jika komunitas itu dikumpulkan dari seluruh Indonesia.
Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, juga sudah mendukung gerakan seperti itu dengan membangun jalur-jalur sepeda di sudut-sudut kota, seperti di daerah Kanal Banjir Timur atau di daerah jalan Jenderal Ahmad Yani Kota Bekasi, penerapan “Bike to Work” di kantor-kantor pemerintahan setiap sebulan atau seminggu sekali, dan juga Presiden Republik Indonesia saat ini, Joko Widodo, termasuk Ibu Negara Iriana dan beberapa Menteri Kabinet akhir-akhir ini nampaknya sedang gencar-gencarnya menggiatkan budaya bersepeda dikalangan masyarakat di seluruh Indonesia dengan membagi-bagikan sepeda gratis disetiap kunjungan maupun acara non-formal yang mereka hadiri kepada siapa saja yang dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kalangan pelajar, petani, buruh, ibu rumah tangga, wartawan, maupun artis sekalipun mendapatkannya, seperti penyanyi Raisa pada saat Hari Musik Nasional yang digelar di Istana Merdeka beberapa waktu yang lalu.
Sumber Referensi:
• Carmichael, Chris. 2003. Bugar dengan Bersepeda: Dilengkapi dengan Program Latihan untuk Kompetisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
• Kompas.com. 2011. Pemprov DKI Dukung Budaya Bersepeda (Diakses pada 19 Juli 2017)
• Sugiyarta, Indriyatna. 2015. Memasyaratkan Budaya Bersepeda, Cermin Perilaku Ramah Lingkungan http://www.kompasiana.com (Diakses pada 19 Juli 2017)
• Tempo doeloe. 2014. Jakarta 1960. https://www.youtube.com (Diakses pada 17 Juli 2017)
• Wiraariyo. 2012. MENUMBUHKAN BUDAYA BERSEPEDA di KOTA JAKARTA https://wiraariyo.wordpress.com (Diakses pada 19 Juli 2017)
Related Posts