Review Buku
Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia
Oleh: Muhammad Fakhriansyah
Penulis : Fadly Rahman.
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tahun terbit : 2016.
Jumlah halaman : 396 halaman.
Makanan diciptakan sebagai respons biologis manusia untuk mencukupi salah satu
kebutuhan biologisnya, yaitu memenuhi kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar. Makanan—
yang kita makan saat ini—merupakan suatu proses percampuran beragam jenis dan identitas
budaya seperti budaya India, Tiongkok, Arab, dan Eropa dengan budaya lokal yang terbentuk
dari beberapa lapisan waktu dan memiliki jejak sejarah di masa lalu. Melalui Tesisnya di UGM
yang kemudian dijadikan buku ―Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia‖, Fadly
Rahman sekaligus sejarawan UNPAD, berhasil menelusuri akar sejarah makanan di Indonesia
dengan melihat permasalahan seputar makanan di Indonesia melalui aspek politik, ekonomi, dan
budaya di masa lampau. Lewat penelitiannya yang luas dan mendalam, Fadly secara garis besar
membagi buku ini menjadi tiga bagian. Pertama, jejak sejarah makanan di Indonesia sebelum
masuknya pengaruh asing. Kedua, pengaruh asing terhadap pembentukan makanan di Indonesia.
Ketiga, pembentukan jati diri bangsa Indonesia dengan makanan sebagai medianya.
Ketika membuka buku ini, pembaca langsung diantarkan penulis melihat jejak makanan
di masa kuno yang tertulis di prasasti taji (901 M), prasasti watukura (902 M), dan kitab
Negarakertagama (1365 M). Di bukti kuno tersebut terkuak informasi bahan makanan yang
dikomsumsi masyarakat pada zaman itu, seperti beras, tahu, ikan, dan dendeng yang ketika
dipadukan dengan bumbu akan menghasilkan ragam makanan terolah seperti sambel, pecel, dan
lain sebagainya. Hingga pada akhirnya pengaruh asing masuk dan berhasil fusion dengan boga
pada masa kuno dan menghasilkan perubahan sosial budaya dan lingkungan alam yang tentu
mempengaruhi budaya makan hingga pada akhir abad ke-18. Pembudidayaan bahan makanan
yang dilakukan menyebabkan lahirnya semangat baru dalam keseharian masyarakat salah
satunya ditandai dengan pembentukan selera dan citarasa baru. Dengan menyajikan pandangan
Rafles, Reindwart, Crawfurd, dan naskah kuno ―Serat Centhini‖, penulis memberikan informasi
bagaimana domestikasi hewan , penanaman 2000 jenis tanaman baru terjadi di Pulau Jawa dan
memberikan informasi bahwa makanan seperti, le-meng (lamang), tempe, dan jangan tomis
(sayur tumis) telah ada sejak masa silam.
Jika sebelumnya pewarisan resep makanan diwariskan secara lisan dengan juru masak
sebagai agennya, maka selanjutnya pewarisan resep makanan dilakukan dengan menulisnya ke
dalam buku masak. Hal ini menandai awal mula perkembangan buku masak dan ilmu makanan
di Hindia Belanda yang diawali dengan kemunculan buku masak pertama, yaitu kokki bitja
(Conelia,1857) diiringi dengan kemunculan Oost-Indische Kookboek (anonym, 1866), Indisch
kookboek (Gerardina Gallas Haak Bastiaanse,1872), Boekoe Masakan Baroe (Johanna, 1896), dan Groot nieuw volledig Indisch kookboek (Cateniusvan der Meijden). Dari publikasi buku- buku masak sejak kurun waktu abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu, berkembang sebuah konsep kuliner kawasan yang oleh para gastronom masa itu disebut dengan istilah Indische
keuken (kuliner Hindia). Melalui Indische keuken beberapa penulis buku masak melakukan
kategorisasi resep berdasarkan kelompok sosial di tanah koloni. Misalnya, penulis Oost-Indisch
kookboek (1870) mengelompokkan resep dengan kategori ‖makanan Belanda‖ (Hollandsch eten)
dan ‖makanan Bumiputera‖ (Inlandsch eten). Pengelompokkan ini menyiratkan usaha untuk
memurnikan resep-resep bercitarasa Eropa agar tidak bercampur dengan resep-resep Bumiputera.
Meski kenyataannya, resep-resep bercitarasa Tionghoa, India, Arab dan Bumiputera dimasukkan
dalam kategori resep Eropa setelah tentunya dimodifikasi oleh penulis resep agar sesuai dengan
selera orang-orang Eropa. Hal itu menunjukkan bahwa dari praktik gastronomi Indische keuken
terjalin hubungan yang saling mengenal, mengolah, dan menerima kuliner antarbangsa. Misalnya
saja penulis buku-buku masak mengenalkan resep-resep Bumiputera seperti aneka olahan nasi,
sate, kari, soto, rawon, dan sambal kepada para pembaca Eropa; sebaliknya para pembaca dari
kalangan Jawa dan Melayu diperkenalkan resep-resep membuat soep, huzarensla, frikadel,
beefstuk, poffertjes, roti, nastaart, kaastengels, dan klapertaart.
Memasuki dasawarsa 1940-an, pamor Indische keuken mulai meredup. Selain masa-masa
sulit (Malaise), masa Pendudukan Jepang (1942 – 1945) memunculkan dekolonisasi terhadap
berbagai budaya Belanda di Indonesia. Jepang melalui Hodoka (lembaga yang mengawasi
penerbitan media) sangat ketat dalam menyensor layak atau tidaknya media apa pun terbit.
Buku-buku masak yang memuat citra selera Eropa pun tidak luput dari sensornya. Hingga pasca
kemerdekaan muncul-lah rasa keinginan untuk membentuk national cuisine dengan harapan
untuk mengubur segala gaya hidup kolonial dalam hal kemewahan makanan dan ingin
menyadarkan masyarakat di berbagai daerah agar mampu memberdayakan potensi sumber daya
bahan makanan untuk dapat diolah menjadi kuliner lezat. Pembentukan national cuisine ini
mencapai puncaknya pada tahun 1960-1967, ketika dibuatnya proyek pembuatan buku resep
nasional pertama di Indonesia, yaitu buku resep Mustika Rasa.
Citra makanan di Indonesia terbentuk dari kelanjutan perkembangan makanan sejak masa
kuno hingga masa colonial. Dalam artian, makanan yang ada di Indonesia kini merupakan suatu
warisan dari berbagai lapisan waktu yang panjang disertai dengan pengaruh global. Dituli
dengan mengindahkan kerangka berpikir para sejarawan pada umumnya. Buku ini sangat layak
dibaca untuk mengetahui wawasan tentang sejarah makanan Indonesia, terlebih kajian sejarah
makanan masih sangat jarang yang membahasnya.
Related Posts