Realitas Penggolongan UKT Mahasiswa
Oleh:
Hana Shafira
Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang pendidikan tinggi mengenai pembayaran biaya kuliah, telah merubah
sistem pembayaran Sumbangan Pembayaran Pendidikan (SPP) menjadi sistem Uang
Kuliah Tunggal (UKT). Tujuan diberlakukannya sistem UKT ini adalah untuk
memudahkan mahasiswa terhadap pembiayaan kuliahnya sekaligus sebagai sistem
subsidi silang terhadap sesama mahasiswa karena dengan sistem ini, biaya kuliah
yang harus dibayarkan oleh setiap mahasiswa akan berbeda-beda tergantung kelompok/golongan
UKT apa didapatkan dan kondisi kemampuan perekonomian mahasiswa, orang tua
mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya menjadi faktor utama penentu
kelompok/ golongan UKT tersebut, sehingga setiap mahasiswa dapat membayar biaya
kuliah sesuai dengan kemampuannya.
Penentuan besaran UKT ditentukan oleh
setiap mahasiswa setelah melewati berbagai tahapan penerimaan mahasiswa baru. Terkhusus
pada Universitas Negeri Jakarta, dalam proses penentuan besaran UKTnya, mahasiswa
baru diberikan dua pilihan yaitu dengan memilih Kelompok UKT Tinggi (VI-VIII)
sehingga mahasiswa tidak perlu memasukan berbagai data penentu besaran UKT dan
hanya menginput surat keterangan bersedia diberikan Kelompok UKT Tinggi atau dengan
memilih Golongan UKT yang ditentukan dengan mengisi dan menginput berbagai data
pada Laman SIUKAT sehingga bisa
mendapatkan golongan UKT dibawah Kelompok UKT Tinggi. Data-data yang diinput
pada SIUKAT mencakup data yang berkaitan dengan kondisi perekonomian seperti; pekerjaan
orang tua/wali; jumlah pendapatan/gaji; aset yang dimiliki; berbagai biaya
pengeluaran seperti biaya listrik/air/telepon, tanggungan yang dimiliki dan
masih banyak lainnya.
Bila kita cermati, dengan menerapkan
konsep sistem UKT ini, Pemerintah memiliki tujuan baik untuk meningkatkan
tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan di perguruan tinggi dengan
memberikan kemudahan terhadap mahasiswa dalam membayar biaya kuliah sesuai
dengan kemampuannya. Namun walaupun demikian, pada realitanya penentuan besaran
UKT pada mahasiswa seringkali masih tidak tepat, sehingga masih banyak
mahasiswa yang merasa terberatkan dengan UKTnya dan harus memilih cuti, mangkir
atau bahkan terpaksa di drop out di pertengahan
perkuliahannya akibat ketidaksanggupanya dalam membayar UKT. Hal ini diperkuat
dengan adanya data yang diperoleh oleh Advokasi BEM se-UNJ dari Biro Akademik
Kemahasiswaan dan Humas (BAAKHUM) UNJ dimana ditemukan sebanyak hampir 9000
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta belum melakukan pembayaran setelah
penutupan pembayaran UKT semester 112. Sungguh ironis penetapan golongan UKT
yang tidak seusai dengan kemampuan perekonomian yang dimiliki oleh
mahasiswanya.
Tidak tepatnya penggolongan UKT yang
didapatkan mahasiswa ialah akibat kegagalan sistem penentuan golongan UKT yang
belum bisa membaca kondisi perekonomian yang dialami oleh mahasiswanya. Penetapan
Golongan UKT melalui sebuah sistem komputer pun dirasa tidak memumpuni karena
tidak adanya ‘hati’ yang dapat bersimpati melihat kondisi yang dialami
mahasiswa. Hal lain yang menjadi penyebab penggolongan UKT yang tidak sesuai
ialah data-data penentu yang dimasukan oleh mahasiswa pada sistem SIUKAT seringkali
belum menggambarkan kondisi real yang
dialami dan menyebabkan berbagai kasus terjadi dan menimpa Mahasiswa
Universitas Negeri Jakarta, seperti:
1.
Rumah yang ditinggali berupa peninggalan nenek atau kakeknya, sehingga rumahnya
pun besar, dan biaya beban listrik ataupun air ikut menjadi besar, padahal
pendapatan orang tuanya tidak teralu besar. Atau misalnya yang terjadi pada
Mahasiswa FIS-UNJ yang memiliki status menumpang pada rumah pimpinan tempat
orang tuanya berkerja yang dikenakan golongan UKT sebesar 5.000.000 akibat
biaya PBB, Listrik/Air/Telepon yang besar.
2.
Kasus dimana mahasiswa memiliki asset berupa kontrakan yang tergabung PBBnya
dengan rumahnya, sehingga ia mendapatkan Kelompok UKT Tinggi. yaitu Rp. 5.000.000, namun pada saat ini kondisi
perekonomian keluarganya sedang menurun, terlilit hutang dan kontrakan yang ia
miliki beberapa bulan ini sedang kosong. Walaupun ia sudah mencoba mengajukan
banding UKT, ia tetap dikenakan UKT Rp. 5.000.000 dan petugas banding pun hanya
mengatakan "kita sepakat ya pak".
Hal serupa namun berbeda pun juga terjadi dimana usaha yang dimiliki
keluarga mahasiswa tersebut mengalami deficit dan harus gulung tikar sehingga
pendapatan yang terteara saat mengisi SIUKAT pun berbeda dan mengharuskan
mahasiswa tersebut cuti karena ketidaksanggupannya dalam membayar UKT.
3.
Kasus yang berkaitan dengan orang tua yang akan pensiun dalam waktu dekat, mis
(1-2 Tahun). Sehingga penghasilannya pun nanti akan menurun dan berbeda saat
orangtuanya masih berkerja dengan saat pensiun nanti. Pada kasus ini, sebenarnya
mahasiswa bisa mengajukan penurunan UKT di Semester 3, namun kembali lagi pada
implementasi dari penurunan UKT yang tidak membantu banyak.
4.
Tanggungan yang di isi pada SIUKAT merupakan tanggungan yang sesuai pada Kartu
Keluarga (Ayah, Ibu dan Anak). Namun terdapat berbagai kondisi yang dimana
tanggungan yang dimiliki tidak berada pada KK tersebut. Misalnya; Orang tua
yang menanggung biaya hidup kakek-nenek di kampung halaman atau Orang tua yang
harus menaggung biaya rumah sakit kolega yang sedang sakit. Sehingga data
tanggungan yang ada pada SIUKAT pun tidak sesuai dengan sebenarnya.
5.
Kasus yang belum terjadi namun kemungkinan besar akan terjadi yaitu kasus dimana
orang tua yang dirumahkan (tanpa gaji + tunjangan) akibat adanya wabah COVID 19
ini, tanpa dikeluarkannya Surat Keterangan dari tempat berkerja yang
bersangkutan. Hal ini pun akan berdampak saat Mahasiswa baru dalam mengisi
SIUKAT mengenai pendapatan yang dihasilkan orang tua/ wali yang harus
mencantumkan slip gaji, padahal keadaan pendapatannya yang diterangkan pada
slip gaji berbeda dengan kondisi yang menimpanya sekarang. Dan mirisnya lagi,
kita tidak tau orang tua/ wali akan dirumahkan sampai kapan. Namun yang jelas,
untuk memenuhi kebutuhan sehari2 saja akan sulit apa lagi ditambah dengan harus
membayar UKT mereka nanti.
Kasus-kasus ini merupakan kasus yang
berhasil dirangkum dari mahasiswa yang melapor kepada Advokasi dan Sosial BEMP.
Pendidikan Sejarah. Namun tidak memungkiri masih banyak kasus-kasus lainnya
yang terjadi pada Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Pengaduan mengenai
kesulitan dalam membayar UKT oleh mahasiswa pun setiap semesternya diterima
oleh Advokasi dan Sosial yang menandakan bahwa masih banyak mahasiswa yang
mendapatkan UKT tidak sesuai dengan kemampuannya.
Dibukanya pengajuan banding UKT untuk
mahasiswa baru pun tidak dapat membantu 100% mahasiswa tersebut. Adanya
notifikasi yang terdapat pada laman SIUKAT ketika memilih untuk mengajukan
banding yang menuliskan bahwa dengan pengajuan banding tidak dapat dipastikan
UKT akan turun dan juga terdapat kemungkinan UKT menjadi semakin naik telah
menekan psikis dan menyebakan ketakutan para mahasiswa baru untuk
mengajukannya. Terlebih terdapat kasus dimana seorang mahasiswa baru yang
mendapatkan UKT lebih tinggi akibat mengajukan banding karena ia penerima KJP
(Kartu Jakarta Pintar) saat bersekolah, padahal KJP yang ia terima pun digunakan
untuk membantu biaya keluarganya sehari-hari. Dan pada akhirnya pengajuan
banding yang bertujuan untuk melakukan negoisasi antara mahasiswa baru dengan
pihak universitas sehingga mahasiswa baru bisa mendapatkan UKT yang lebih sesuai
dengan kemampuannya pun tidak berfungsi sebagaimana dengan semestinya.
Inilah realita yang sebenarnya terjadi.
UKT merupakan implementasi yang tidak berjalan sesuai dengan tujuannya seperti
yang dicantumkan pada
pasal 76 ayat 3 dan pasal 85 ayat 2 UU Dikti yang menerangkan bahwa “Perguruan Tinggi atau penyelenggara
Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk
membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau
pihak yang membiayainya”. Dan yang lebih mengecewakannya lagi ialah tidak
adanya perbaikan ataupun hal untuk mengantisipasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun Perguruan
Tinggi terhadap kejadian “salah sasaran” atau “salah penggolongan” UKT terhadap
mahasiswa baru yang setiap tahunnya ini terjadi.
Perlunya evaluasi maupun perubahan
dalam penetapan UKT mahasiswa pada SIUKAT pun saya rasa sangat perlu dilakukan
sebagai upaya untuk meminimalisir banyaknya mahasiswa yang mendapatkan UKT
diluar kemampuannya. Terlebih bila kita kaitkan dengan kondisi sekarang yang
menyebabkan banyaknya mahasiswa yang mengalami penurunan pada kondisi
perekonomiannya akibat wabah COVID-19 ini. Selain peran pemerintah maupun
universitas, peran dari mahasiswa baru pun dirasa perlu untuk melakukan
berbagai strategi dalam mengisi SIUKAT ini sehingga tidak mebebankannya saat
mereka berkuliah nanti.
Related Posts