Humanisme dalam Perspektif Nasionalis
Oleh
Muhammad Andicka Prasetia, Pend. Sejarah 2019
Rasa-rasanya
bangsa Indonesia sedang berada dalam situasi yang tidak mudah dimana bangsa
kita dihantam ombak yang begitu besar yakni Pandemi Covid-19, misalnya saja
hari ini menurut gugus tugas penanganan Covid-19 per tanggal (17/04/20) tidak
lebih dari 5.923 orang terkonfirmasi, 520 orang meninggal dunia, dan 607 orang
sembuh. Tentu ini merupakan catatan penting karena angkanya tak kunjung turun
sejak pemerintah pusat mengumumkan pandemi ini sampai Indonesia awal maret.
Jika kita mengamati kebijakan-kebijakan yang di ambil pun rasa-rasanya terkesan
main-main mulai dari istilah corona mobil, susu kuda liar, hingga pernyataan
bahwa virus ini ditularkan si miskin mewarnai hari-hari kelam bangsa kita.
Pemerintah pusat cenderung enggan memperhatikan keselamatan masyarakat hal ini
secara simultan terlihat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah misalnya
terus menggenjot proyek ibukota baru, mempercepat pembahasan omnibus law yang
mana di dalamnya sangat tidak berpihak kepada masyarakat lower class (kelas
bawah). Tentu dalam situasi darurat seperti ini pentingnya mengutamakan
keselamatan masyarakat di atas segala kepentingan apapun, mengutip pernyataan
presiden Ghana "Saya tahu menghidupkan kembali perekonomian, tapi saya
tidak tahu bagaimana caranya menghidupkan orang mati". Saat-saat seperti
inilah seharusnya pemerintah pusat menunjukan sisi-sisi humanisnya, karena
masyarakat mungkin akan menilai sejauh mana kepedulian pemerintah terhadap
warganya.
Jika
kita sedikit merefleksi kembali sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia
sebelum reformasi dan setelah reformasi banyak tokoh-tokoh yang memiliki
nilai-nilai humanis, menurut buku Jalan Terjal Perubahan misalnya Sidarto
Danusubroto yang kala itu masih menjabat sebagai ajudan Bung Karno tahu betul
detik-detik kepergian sang proklamator, Kala itu dialah yang merawat Bung Karno
bersama Guntur dan seorang dokter hewan. Beliau menceritakan bagaimana ketika
Supersemar disalahgunakan oleh Soeharto kemudian beliau menyampaikan bahwa
pengikut Bung Karno diluar masih banyak dan siap untuk merebut kembali
kekuasaan. Namun, Bung Karno enggan menuruti saran ajudannya karena yang ia
pikirkan adalah ia takut terjadi pertumpahan darah antar sesama bangsa kemudian
Bung karno mengatakan "biar aku saja yang menderita dan aku tidak ingi
dirawat di luar negeri karena aku ingin meninggal di tengah-tengah rakyat yang
kucintai ini" dari buku tersebut seharusnya kita belajar bahwa kepentingan
nasional lebih penting di atas segalanya.
Sisi
humanis seperti itu juga kita dapati pada sosok Gusdur, bagaimana tidak? Beliau
di kudeta secara sistematis melalui kasus Bruneigate dan Buloggate, menurut
buku Menjerat Gusdur karya Virdika Rizky Utama kala itu Sultan Hasanal Bolkiah
membantu Indonesia dalam konflik Aceh. Namun, uang yang sudah di transfer ke
rekening tukang pijat Gusdur yang juga pernah menjadi tukang pijat di zaman
orde baru malah dibagikan kepada sanak familinya, hal ini yang membuat Gusdur
dituduh melakukan korupsi dan hal ini dimanfaatkan betul oleh poros tengah yang
kadung kecewa dengan keputusan-keputusan politik yang diambil oleh Gusdur,
seperti memecat Jusuf Kalla yang kala itu menjabat sebagai menteri
perindustrian karena melakukan KKN, kemudian menolak permintaan Amin Rais yang
meminta jabatan menteri keuangan diserahkan pada Fuad Bawazier. Semua itu
beliau lakukan demi kepentingan bangsa dan negara. Karena kebijakannya tidak
berpihak pada kepentingan oligarki Gusdur pun akhirnya di lengserkan secara
sistematis melalui dua kasus tadi, dan Gusdur terbukti tidak bersalah atas
pelengserannya. Bagi beliau tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan
mati-matian, dan baginya yang terpenting dari politik adalah nilai
kemanusiaanya.
Hal-hal
seperti dua kisah di atas agaknya sangat sulit kita dapati jika melihat situasi
dan realitas hari ini, mengapa demikian? Pemerintah dalam hal ini bahkan tetap
melanjutkan proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan ibukota baru, jika
memang orientasi dari pembangunan itu adalah untuk memajukan, urgensi hari ini
bukan mengarah pada memajukan. Akan tetapi, bagaimana menyelamatkan rakyat
karena angka persebarannya setiap hari meningkat dan seharusnya pemerintah
berfokus pada melandaikan kurva hingga persebarannya dapat ditekan. Situasi
seperti ini harus dilakukan secara komperhensif dan berlapis artinya seluruh
komponen masyarakat dan negara harus mengambil peranannya masing-masing, cuci
tangan, menggunakan masker, di rumah saja itu yang bisa masyarakat lakukan.
Akan tetapi, dari sisi pemerintah pun harus mengambil peranan yang sama jika
menilik alinea keempat dalam undang-undang dasar "melindungi segenap
bangsa, dan seluruh tumpah darah…". Pemerintah sebenarnya memiliki
regulasi yang dapat melandaikan kurva persebaran jika saja mau menggunakan
Undang-Undang No 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan, dengan memberlakukan
undang-undang ini masyarakat diwajibkan untuk dirumah selama 14 hari dan
pemerintah wajib menjamin keberlangsungan hidupnya bahkan tidak hanya warga
saja yang dijamin, hewan peliharaan pun wajib dijamin jika harganya tidak
sesuai dengan selera pasar.
Mungkin
jika situasi seperti ini tidak dihadapi dengan serius, akan lebih lama lagi
kita menunggu wabah ini berakhir dan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat
akan terganggu menunggu kepastian kapan wabah ini berakhir. Jika pemerintah
hari ini tetap melanggengkan kepentingan-kepentingannya dan tidak mendahulukan
keselamatan rakyat maka kemarahan rakyat hanya tinggal menunggu waktu. Dalam
akhir tulisan ini penulis sedikit rindu terhadap dua sosok yang dikisahkan
dalam tulisan ini yang memiliki sisi-sisi yang humanis. Pemerintah pusat sudah
seharusnya belajar dari kedua tokoh tersebut karena situasi darurat seperti ini
tidak akan tahu kapan akan berakhir, penulis teringat salah satu filsuf romawi
kuno yang mengatakan "bahwa konstitusi tertinggi dari sebuah negara adalah
keselamatan rakyat" lantas jika angka kurvanya semakin meningkat siapa
yang diselamatkan pemerintah pada saat ini?
Related Posts