Pembunuhan Buruh Marsinah Bukti
Penegakkan HAM Era Rezim Besi
Hanya Sebatas Imaji
Oleh Laila Amalia Khaerani, Pend. Sejarah B 2019
“kalau kemanusiaan tersinggung,semua orang yang
berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang
berjiwa kriminal biarpun ia sarjana “
-Pramoedya
Ananta Toer-
Maraknya kritis berfikir di era Orde
Baru, menjadi tonggak banyaknya masyarakat yang resah akan ketidak selarasan
kebijakan dengan sistem yang telah diagungkan yaitu Demokrasi. Degan gagahnya
negeri merah putih ini menyandang demokrasi sebagai acuan berpolitisi. Namun,
potret kerakyatan nampaknya jauh sekali untuk berada di negeri ini yang
dipimpin oleh masyarakat berdasi. Hiruk pikuk yang terjadi pada tahun 1993,
nampaknya sampai saat ini masih menjadi polemik negeri yang dibungkam guna
melindungi rezim bertangan besi.
Status quo yang terjadi di tahun 1993 sangat
menekankan keotoriteran rezim pada Orde Baru. Surat Keputusan Barkorstanas
No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.342/Men/1986 yang
di intervensi oleh Presiden Soeharto tentang tata cara memediasi perselisihan antara buruh
dan pengusaha berhasil membuka perdebatan sengit antara 2 kaum yang berujung
pada titik darah penghabisan.
Tindak
aksi berupa pemogokkan kerja dari para buruh yang dikomandokan oleh Marsinah
selaku aktivis buruh perempuan kepada pengusaha PT CPS, upaya bentuk penuntutan
12 hak buruh yang dirampas tanpa adanya persetujuan.Namun naas tujuan semulia
apapun tak akan pernah bisa sejalan dengan prinsip kemanusiaan yang ada,
jikalau sudah ada percikan kekuasaan didalamnya. Perelaian aksi ini di mediasi
oleh seorang perwira Seksi Intel Kodim Kamadi. Tiga belas buruh diminta untuk
mengundurkan diri dengan alasan yang dibuat oleh Kamadi dan Sugeng. Urgensi
yang terjadi setelah Marsinah mengetahui hal tersebut justru melahirkan permasalahan
baru. Dengan gagahnya, Marsinah menuntut Kodim yang sudah jelas akan dipayungi
oleh Pemerintah.
Keberanian
Marsinah menjadi bumerang untuk nyawanya sendiri. Tanggal 8 Mei 1993, Marsinah
ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa
Jagong,Nganjuk. Sebelum meninggal, ia sempat hilang sejak 6 Mei 1993. Hasil
visum et repertum menunjukkan bahwa adanya sebuah kejanggalan dalam kasus
kematian Marsinah. Bukti otopsi menjelaskan bahwa ada luka robek di kemaluan sampai perut
sepanjang 3 cm dan masih banyak luka lainnya. Di balik itu semua, ternyata
aparat militer melakukan penyiksaan juga terhadap tujuh pimpinan PT CPS atau
perusahaan tempat Marsinah bekerja. Mereka disiksa dengan keji, seolah aparat
militer melupakan perannya sebagai pelindung hak hidup warganya. Berdasarkan
laporan yang diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
menunjukkan adanya ratifikasi dalam kasus penyiksaan ini. Penyiksaan rutin itu
dilakukan guna mengancam tujuh pimpinan PT CPS untuk mengakui bahwa merekalah
yang harus bertanggung jawab atas kematian Marsinah.
Fenomena
memprihatinkan itu menjadi bukti bahwa rezim Orde Baru telah gagal menegakkan
Hak Asasi Manusia. Dan, perlakuan aparat militer terhadap Marsinah serta tujuh
pimpinan PT CPS sudah sangat bertolak belakang dengan pilar bangsa yaitu sila
kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan yang sangat diutamakan
oleh dasar negara, secara tidak langsung telah dicederai oleh pelindungnya
sendiri.
Seperti
yang dikatakan oleh Nelson Mandela selaku mantan Presiden Afrika Selatan yaitu
“Tindak keadilan merupakan hal yang fundamental terhadap perlindungan Hak Asasi
Manusia”. Artinya bentuk keadilan yang ada di Indonesia, seharusnya mampu
memberikan signifikansi terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia agar diterima
oleh siapapun tanpa memandang status yang disandang oleh insan tersebut.
Kegagalan
Orde Baru harus dijadikan sebuah cerminan, bahwa negeri yang besar ini harus
belajar menemukan obat dari akar permasalahan kemanusiaan yang tak pernah ada
habisnya. Menurut saya, peningkatan rasa kemanusiaan di Indonesia harus bermula
dari penegakkan Hak Asasi Manusia. Karena, hal itulah yang sampai saat ini
menjadi tolak ukur seberapa berhasilkah negara menjamin kemanusiaan sesuai
amanat Perundang-undangan.
Sejatinya,
melihat sebuah urgensi yang selalu berada dalam lingkaran hitam harus dipahami
terlebih dahulu dasar dari permasalahan yang terjadi. Permasalahan yang kerap
terjadi, seringkali dicampur tangani oleh politik praktis guna melindung
turbulensi kekuasaan pemerintah.Kasus HAM yang menjadi tolak ukur kemansuiaan
di Indonesia sering kali ditutupi agar eksistensi negeri tidak buruk di mata
Dunia, namun busuk di kaca masyarakatnya.
Sejalan
dengan konsep Hak Asasi Manusia yang dikenalkan John Locke dan Jan Jaques yaitu
Individualistis, artinya manusia pada hakikatnya sudah memiliki seperangkat Hak
Asasi Manusia sejak lahir. Kini yang perlu dilakukan demi meminimalisir kasus
HAM yang kian hari semakin meresahkan, yaitu dengan meningkatkan dua kualitas
kubu di negeri ini. Yang pertama yaitu kualitas pemerintah serta sistemnya.
Karena, pemerintahlah yang mampu menjamin penegakkan HAM di Indonesia. Peran
pemerintah disini bertindak sebagai pencegah(preventif) dan juga mengobati
(represif).Yang perlu dilakukan yaitu dengan membuat sistem yang lebih relevan
guna menguatkan dasar hukum mengenai Kasus HAM dibantu oleh lembaga-lembaga
yang bergerak di bidang HAM. Selanjutnya, perlu adanya transparansi akan kasus
yang ditindak oleh lembaga HAM. Artinya, setiap ada kasus HAM yang terjadi,
pemerintah wajib membuka suara kepada media terpercaya agar tidak ada
kecurigaan dari masyarakat. Dan, dalam penanganan kasus HAM pun pemerintah
harus mampu memediasi sesuai dengan hukum yang dibuatnya sendiri, tanpa adanya
campur tangan kekuasaan yang dapat mengakibatkan langkanya keadilan.
Yang
kedua yaitu mutu masyarakatnya itu sendiri. Disini, pemerintahpun tidak boleh
lepas tangan untuk menstimulus masyarakatnya agar mengerti betapa pentingnya
kemanusiaan. Pemerintah harus memberikan pendidikan secara signifikan kepada
masyarakat agar mereka memahami bahwa HAM sangat penting. Selanjutnya,
masyarakat diharapkan mengerti betapa pentingnya kemanusiaan serta mentaati
hukum yang sudah dijadikan acuan dalam kasus HAM. Dan apabila adanya
kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat berhak menjadi pihak
oposisi atas kesalahan yang dibuat sesuai dengan peraturan yang ada. Karena,
tidak akan ada suatu pemebenaran apapun jika pemerintah telah tutup mata dengan
kemanusiaan.
Terakhir,
adanya perpaduan antara pemerintah dan masyarakat. Keduanya dapat mengimplementasikan
sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian,
kemanusiaan di Indonesia perlahan akan terjaga. Dan, dengan kuatnya rasa
kemanusiaan dapat dipastikan kasus-kasus kemanusiaan akan berkurang di Indonesia.
Sejalan
dengan proposal ide yang saya sampaikan, saya meyakini bahwa Indonesia akan
mampu meminimalisir kasus HAM. Dan, masyarakatnya akan menjunjung tinggi
kemanusiaan yang ada. Sehingga, kita dapat menjalankan amanat
perundang-undangan yang ada serta mengimplementasikan sila kedua yang menjadi
acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Related Posts