Berkaca Pada Ki Hajar Dewantara
.
.
.
.
Oleh: Jati Aprianto
"Tolak Komersialisasi Pendidikan." Tagline dan tuntutan yang beberapa tahun itu terus digaungkan. Mungkin kita bertanya, kenapa muncul wacana atau isu seperti itu? Wacana tersebut cukup massif, setidaknya dalam 2 tahun terakhir dan selalu digaungkan dalam menyambut hari pendidikan, serta isu gerakan akhir-akhir ini. Lalu, pada akhirnya muncul pertanyaan.
"Sudah sepasar itu kah pendidikan indonesia hari ini?"
Pendidikan menjadi penting, karena ia adalah dasar sebuah bangsa. Pendidikan menjadi sebuah lahan kawah candradimuka bagi generasi penerus bangsa. Namun, dari semua perangkat yang tersedia, gagal memenuhi syarat untuk menjadi sebuah tempat mencerdaskan anak bangsa. Sebab fungsi pendidikan seharusnya mengembangkan anak-anak Indonesia agar mampu membangun negerinya menuju yang dicita-citakan. Namun bak api jauh dari panggang, hal itu jauh dari fungsinya dan justru semakin terlihat bahwa pendidikan adalah sebuah pasar dengan tingkat keuntungan yang tinggi. Tentu hal tersebut jauh dari cita-cita para tokoh pendidikan bangsa, salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara merupakan Bapak Pendidikan Indonesia, dan juga pendiri Perguruan Taman Siswa. Ki Hajar pernah menulis bahwa "sekolah adalah wadah untuk menciptakan kader-kader yang berjiwa nasionalis dan berjiwa merdeka." Karena pendidikan seharusnya dapat mencerminkan karakter sebuah bangsa dan menjadi manusia Indonesia yang merdeka. Kemudian yang jauh dari apa yang diharapkan Ki Hajar, ialah jika pendidikan sudah dikomersialisasikan, maka akan ada jarak pengetahuan antara si kaya dengan si miskin. Orang kaya bisa bebas memilih sekolah terbaik, karena dalam wujud nyata praktek komersialisasi pendidikan adalah yang bisa membayar tinggi akan mendapatkan fasilitas terbaik.
Sungguh ironi, kenyataan tersebut seperti memunggungi gagasan pendidikan yang berjiwa nasionalis dan berfikir merdeka yang sudah digaungkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan bentuk sekolah Taman Siswa. Karena baginya, sekolah bukanlah ladang mencetak para pekerja-pekerja. Tetapi menumbuhkan kemampuan alamiah setiap anak. Olehnya Taman Siswa menjadi model sekolah yang dibuat oleh anak bangsa. Kita mesti melihat sejarah dan kembali membaca Ki Hajar, bagaimana pendidikan dijadikan sebagai wadah kader-kader pejuang untuk merdeka. Taman Siswa merupakan buah pikiran Ki Hadjar Dewantara. Sebuah perpaduan antara pengalamannya di Belanda selama pembuangan dan pula alam pikir Jawa. Ki Hajar melalui Taman Siswa-nya percaya bahwa setiap anak memiliki bakat alami yang berbeda-beda, juga punya bakat lahiriah yang berbeda-beda. Sekolah bukanlah hanya duduk dan mendengar guru berceramah. Karena guru adalah pamong, fungsi guru adalah cukup mengarahkan anak untuk mengikuti bakat alaminya.
Dalam azas Taman Siswa diuraikan dalam frase yang melegenda, yakni Ing ngarso songko tulodo, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani. adalah hasil buah pemikiran Ki Hajar seperti apa mendidik seorang anak.Tampaknya sudah banyak kita ketahui tentang itu bahkan dijadikan sebagai semboyan pendidikan hari ini. Namun itu hanya menjadi semboyan dan slogan yang memenuhi ruang kelas dan tembok-tembok sekolah. Kita hanya diajarkan menghafal symbol tanpa pernah memahami bahwa esensi dari itu semua adalah untuk menciptakan manusia yang merdeka, sadar kelas, dan kembali kepada masyarakat bukan justru menjadi terpisah dan menciptakan tembok pemisah dengan masyarakat. Mari kembali menyadari bahwa pendidikan bukanlah sebuah komoditas yang layak diperjualbelikan, buku-buku bukan hanya tulisan pemenuh tas dan lemari, semboyan-semboyan bukan hanya sebagai mantra kosong pemenuh tembok dan mengisi waktu dikala upacara. Tabik![]
............................................................
Related Posts