[Pelarangan Buku di Indonesia 1956 – 2007]
Oleh : Rizki Ade Putra (Mahasiswa Pendidikan sejarah 2016)
Buku memiliki arti penting dalam peradaban karena merekam dengan baik ide dibandingkan ingatan manusia, sejalan dengan pendapat Jose Luis Borger dalam bukunya Obras Completas mengemukakan “buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi.” (baez, 2017: 13 - 24) Buku dengan tulisannya dapat mengobjektifikasi ide-ide dalam kepala kita. Mengapa demikian ? Jika kita merujuk kepada penjelasan ide menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat “Ide sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat dan diraba, ada di dalam alam pikiran.” (Koentjaraningrat, 2009: 151) Namun, keberadaan buku sendiri sering dianggap sebagai “pisau bermata dua”, disatu sisi buku dapat membangun serta menjaga sebuah peradaban, tetapi disisi lain buku dapat menggagu sebuah kedamaian, sehingga harus melakukan tindakan “Pelarangan Buku” yang merupakan kegiatan manusia untuk mencegah suatu buku untuk dibaca oleh banyak orang dan jika dibiarkan, Pelarangan buku dapat menjadi sebuah penghancuran sebuah buku oleh manusia demi terjaganya suatu tatanan atau menghukum sebuah peradaban.
Beberapa alasan pelarangan buku ialah ;"bahasa yang kasar", "deskripsi seks yang jelas", "penyerangan terhadap satu kelompok ras", "perilaku seks menyimpang", "kebencian terhadap perempuan", "perbedaan ideologi politik", dan "ajakan untuk memberontak terhadap negara." (Arman Dhani, Pelarangan Buku dan Kematian Para Pemikir, https://tirto.id/pelarangan-buku-dan-kematian-para-pemikir-co4v, diakses pada tanggal 15 Juli 2017, pukul 11.41 WIB.)
Di Indonesia, alasan yang utama digunakan adalah perbedaan ideologi, pencemaran agama, dan ajakan pemberontakan terhadap negara. Aktor atau pelaku pelarangan buku di Indonesia juga penting untuk diketahui karena dapat menggambarkan keadaan Indonesia pada saat itu.
Tulisan ini akan membahas pelarangan buku di Indonesia pada kurun waktu 1956- 2007, kita akan melakukan pembabakan waktu kembali dari rentang waktu ini menjadi; 1956-1965 (masa pemerintahan Soekarno), 1965-1998 (masa pemerintahan Soeharto), 1998-2007 (reformasi). Memilihan waktu dipilih karena ada perubahan tentang apa yang melatarbelakangi pelarangan buku dan siapa aktor yang menjalankan pelarangan buku tersebut, sedangkan pembabakan dimaksudkan untuk mempermudah proses identifikasi sesuai dengan kebijakan dan keadaan pada saat itu.
•1956-1965 (masa pemerintahan Soekarno)
Pada masa ini pelarangan buku di motori oleh militer. Dikarenakan stabilitas negara yang belum stabil, pergantian kabinet dalam rentang waktu yang pendek, pemberontakan di daerah yang terjadi antara pemerintah sipil dan militer di Sumatra, Sulawesi, dan Jawa Barat (DI/TII, dan PRRI/PERMESTA) lalu peristiwa pengarahan meriam ke istana pada 17 oktober 1952 di Jakarta yang tentunya menyebabkan instabilitas negara. Untuk meredekan keadaan ini militer khususnya angkatan darat mengeluarkan peraturan kepala staf AD selaku Penguasa Militer No. PKM/001/9/1956 tentang barang cetak dan pers. (Alit Ambara, Kronik Pendirian Rezim Pelarangan Buku : yang Legal Belum Tentu Legim, https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku/kronik-pendirian-rezim-pelarangan-buku, diakses pada tanggal 16 Juli 2017, pukul 20.07 WIB)
Menerbitan peraturan ini menunjukan bahwa pemerintahan sipil pada saat itu tidak memiliki kekuatan untuk meredakan ketegangan hal ini mungkin dikarenakan instabilitas kabinet. Atas dasar peraturan ini maka pada september 1957 melarang terbit sepuluh surat kabar dan tiga kantor berita diantaranya adalah Antara yang dibubarkan. Selain pers pemikiran perseorangan juga diberedel antara lain tulisan Bung Hatta “demokrasi kita” yang berisi kritik terhadap Presiden Soekarno. (Awaludin, 2010:48)
Pada tahun 1963 Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 tentang pengamanan barang cetakan yang isinya menggangu ketertiban umum dalam rangka kampanye menentang imperalisme di bidang kebudayan. Dengan terbitnya penetapan ini aktor pelaksana berubah dari militer menjadi pemerintah sipil melalui kejaksaan agung. Alasan yang melandasinya juga berubah dari pemberontak dalam negeri menjadi ideologi impralisme. Salah satu korban dari penetapan ini adalah seniman yang tergabung dalam kelompok Manifestasi Kebudayaan, karya mereka dianggap berbahaya bagi jalannya revolusi sehingga tidak ada yang berani yang menerbitkan. (Alit Ambara, Pelarangan Buku dari Jaman ke Jaman, https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku/pelarangan-buku-dari-jaman-ke-jaman, diakses pada tanggal 16 Juli 2017, pukul 21.27 WIB.)
•1965-1998 (masa pemerintahan Soeharto)
Terjadi perubahan tentang alasan dan aktor pelarangan pada masa ini. Setelah G-30-S, Marxisme-Leninisme-Komunis menjadi ajaran yang terlarang, hal ini tercermin dari keluarnya TAP MPR XXV/MPRS 1966. Pelarangan ini berdampak juga terhadap pelarangan buku-buku yang dianggap mengajarkan ajaran tersebut. Pada akhir Desember 1965 Departemen P&K menyatakan : 1). Mencabut larangan peredaran buku-buku karya sastrawan penandatangan Manifestasi Budaya, 2). Melarang 70 buku karangan sastrawan Lekra, 3). Melarang 87 sastrawan Lekra untuk berkarya. Pada tahun 1970 pemberedelan dan sensor terhadap media massa dalam hal ini adalah koran juga dilakukan pemerintah menyusul aksi mahasiswa yang menolak masuknya modal asing khususnya dari Jepang.
Dibalik pemberedelan ini pemerintah berdalih untuk menjaga stabilitas keamanan (Andika Ramadhan, skripsi 2017:10). Pemberedelan dan sensor ini dilakukan pemerintah untuk mengkerdilkan aksi yang dilakukan mahasiswa dan menggiring opini bahwa investasi Jepang di Indonesia mampu membawa kesejahteraan bagi negeri ini. Pada tahun 1979 Kementerian Perdagangan melalui Keputusan Direktur Jendral Perdanganan Luar Negeri No.01/DAGLU/KP/III/79 melakukan pelarangan impor atas barang cetakan beraksara Cina karena dikhawatirkan ide-ide komunisme dibawa bersamanya (2010:52)
Pada masa ini pelarangan buku dilaksanakan secara terang-terangan dibawah komando pemerintah melalui Kejaksaan Agung dengan kebijakan Clearing House dengan maksud mengamankan barang cetak yang terdapat unsur komunis untuk dimusnahkan, kementerian pendidikan, kementerian perdagangan dan tentu saja militer. Perubahan pada masa ini terhadap masa sebelumnya hanya terlihat pada target pelarangan, sedangkan untuk aktor pelarangan tetap sama pemerintah dan militer.
•1998-2007 (reformasi)
Pada masa reformasi terjadi perluasan tentang apa-apa saja yang terlarang jika pada masa Soeharto ajaran komunisme adalah musuh utama, sekarang berkembang mencakupi penyesatan agama, dan isu HAM yang menggangu kedaulatan. Kesamaan ini dikarenakan undang-undang yang dipakai masih sama Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 dan TAP MPR XXV/MPRS 1966. Komunisme masih menjadi momok yang menakutkan bagi Indonesia sehingga buku yang berkaitan dengan itu di larang. 2002 Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning dilarang dan disita oleh kejaksaan agung, 2003 Pembunuhan Theys : Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay, 2005 Aku Melawan Teroris Karya Imam Samudra dan 2007 22 judul dan 11 penerbit buku ”cetak” pelajaran sejarah untuk SMP dan SMA dilarang karena hanya menulis G30S bukan G30S/PKI.
Selain perubahan terhadap apa-apa saja yang harus dilarang, perubahan juga terjadi terhadap siapa yang melarang. Pada periode ini peran pemerintah dalam hal ini kejaksaan agung sudah tidak terlalu dominan mungkin karena hiporia reformasi yang menuntuk kebebasan sehingga jika kejaksaan agung sewenang-wenang maka akan berdampak kepada eksistensi pemerintah. Tetapi hal ini tidak menjadikan pelarangan buku berhenti justru muncul aktor baru dalam kegiatan ini yaitu organisasi masyarakat. 2 september 2000 Front Anti Komunis membakar Revolusi Agustus: Kesaksisan Pelaku Sejarah testimoni Soemarno pemimpin pemberontakan yang melumpuhkan Batalyon CMP Madiun, 2002 masih kelompok yang sama melakukan Sweeping terhadap buku Pemikiran Karl Marx:Dari Sosialisme Utopia ke Perselisihan Revisionisme karya Frans Magnis Suseno.
Pelarangan buku di Indonesia memiliki motif utama yang sama yaitu menjaga stabilitas. Tetapi apapun motifnya pelarangan buku tetap merupakan kegiatan yang tidak sehat dilakukan apalagi di Indonesia yang menganut paham demokrasi berdasarkan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada opsi lain jika merasa terganggu dengan isi sebuah buku yaitu membuat buku tandingan seperti buku Cikeas Menjawab untuk menunjukan ketidaksetujuan keluarga SBY terhadap buku Membongkar Gurita Cikeas: Dibalik Kasus Bank Century karya Geogre Junus Aditjondro.
Jika melihat perkembangan pelarangan buku menurut para pembaca;
Apakah kegiatan ini akan terus berlanjut ?
Mengapa bisa begitu ?
Bagaimana jika kegiatan ini terus terjadi ?
dan jika iya, siapakah “musuh” selanjutnya ?
lalu Bagaimaan kita sebagai orang terdidik menghentikan pelarangan buku ini ?
Daftar Pustaka
Awaluddin, Irwan, dkk. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah Paradoks
Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Jogjakarta : PR2Media dan
Friendrich Ebert Stiffung Indonesia.
Baez, Fernando. 2017. Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Depok : Marjin Kiri.
Febriansah, Andika Ramadan. 2017. Gerakan Mahasiswa Pasca-Kebijakan
NKK/BKK : Dari Tradisi Akademik Sampai Aksi Mahasiswa (1983-1998).
Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Internet
Ambara, Alit. 2010. Kronik Pendirian Rezim Pelarangan Buku: yang Legal Belum
Tentu Legi.
https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku/kronik-pendirian-
rezim-pelarangan-buku. Diakses pada tanggal 16 Juli 2017.
_________. 2010. Pelarangan Buku dari Jaman ke Jaman.
https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku/pelarangan-buku-
dari-jaman-ke-jaman. Diakses pada tanggal 16 Juli 2017.
Dhani, Arman. 2017. Pelarangan Buku dan Kematian Para Pemikir.
https://tirto.id/pelarangan-buku-dan-kematian-para-pemikir-co4v. Diakses
pada tanggal 15 Juli 2017
.........................................................................
Related Posts