Oleh-oleh Hari Raya
(oleh: Rizki Ade Putra)
.
.
.
.
Saya pernah berpendapat dalam kelas kalau semakin mahal pendidikan maka akan menghilangkan ketajaman mengkritisi apa yang ada diluar sana. Kita akan dibuat fokus untuk segera menyelesaikan studi agar tidak memperpendek napas orang tua kita, sehingga tidak sempat membaca hal lain diluar pelajaran kelas yang membosankan.
Kesimpulan ini saya dapat dengan melihat timbulnya keanehan di STOVIA (sekolah dokter di Batavia yang menetapkan beasiswa penuh selama masa studi [pendidikan gratis] ) yaitu berdirinya sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Lalu timbul pertanyaan kenapa organisasi progresif ini lahir di tangan mahasiswa STOVIA ? dengan cocoklogi yang payah saya menyimpulkan mungkin karena pendidikan di STOVIA gratis sehingga mereka tidak terburu-buru, ada waktu untuk bisa membaca hal lain, tidak terlalu terbebani dengan biaya yang mahal dan anak-anak dari lapisan bukan priyai bisa (yang hidup dalam realitas sebenarnya) mendapatkan pendidikan yang baik sehingga bisa melawan keadaan.
Apalagi mengikuti beberapa sesi diskusi yang mendukung pendidikan gratis untuk semua tingkat, wah makin mantap saya dengan kesimpulan yang pernah saya lontarkan itu bahwa pendidikan yang gratis berkolerasi kuat dengan lahirnya manusia-manusia baru, bukan hanya mesin-mesin produksi saja.
Di acara keluarga besar pada hari raya kemarin, banyak betul saudara jauh yang entah dari garis keturunan sebelah mana ikut berkumpul dan melakukan ritual basa-basi (menanyakan anak sekolah/kuliah dimana) ternyata banyak juga dari mereka yang baru saya liat kemarin itu berkuliah di sekolah tinggi yang dibiayai penuh oleh negara, ditambah iming-iming kepastian kerja di instansi pemerintahan (saya yakin anda tau dimana itu) aihh hebat sekali..
Setelah perkenalan basa-basi penasaran saya dengan kesimpulan yang baru saya dapat dari buku dan obrolan lesehan santai maka saya tanyalah. Apa benar pendidikan gratis berkolerasi dengan daya kritis dan kelahiran seorang manusia. Ternyata setelah panjang lebar ngobrol Diskusi terbatas dalam hal pelajaran di kelas, acara nongkrong juga gak ada. Emang untuk apa ? tugas sudah menumpuk. Karena sekolah dibiayai negara maka harus lulus tepat waktu kalau enggak panjang urusan. Di kampusnya juga ada aturan tidak boleh demo-demo baik dalam kampus tau di luar kampus, itu kegiatan“ndak jelas” kalau ketahuan langsung di D.O alasannya “masa calon PNS mengkritik pemerintah itu gak masuk akal.”.. (weehh masuk susah keluar gampangnya sekali) gak pernah ada yang melawan ketentuan kampus. Gak berani, nanti kalau di D.O habis sudah hari besok. Cita-cita jadi PNS yang baik, membahagiakan orang tua, hidup nyaman dan terjamin dihari tua harus sirna karena ngobrol gak jelas dan teriak-teriak gak jelas. Pokoknya semua itu buang waktu dan membuang masa depan.
“Semua harus jelas. Sekolah, lulus, penempatan kerja, kerja, menikah, dan hidup bahagia selamanya.”
Jadi, dengan berakhirnya obrolan kesimpulan saya diawal goyah. Kenapa yang sekolah sudah dibiayai negara tidak juga keluar dari zona nyaman yang aman-aman itu ? ya ya saya tau ini terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan karena baru mewawancari beberapa orang, tetapi saya rasa obrolan ini membuka kembali kran diskusi apa yang harus dilakukan untuk pendidikan yang bisa melahirkan manusia ? Apakah cukup hanya dengan menggratiskan biaya pendidikan saja ? toh yang gratis sama saja.
Saya rasa biaya pendidikan yang gratis harus tetap diperjuangkan. Tidak boleh tidak karena ini masalah keadilan sosial, akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya agar semua lapisan masyarakat menikmati hal ini tanpa kecuali. Tapi setelah itu apa ? Jangan-jangan yang gratis itu malah lebih menyiksa, lebih banyak penindasan dan pemakluman untuk itu.
Misalnya pernah gak kalian mendapat ancaman seperti ini waktu SMP atau SMA “Kamu ya sekolah sudah gratis masih saja melawan, tidak tau diuntung kamu ! mau saya keluarkan ? pindah kesekolah swasta yang bayar ?!” aihh seramnya, siswa bisa apa ? paling hanya menunduk atau kalau berani seperti Dilan, pukuli guru itu dan besoknya viral dengan judul “Seorang siswa memukuli gurunya sampai bonyok, sungguh terlalu murid jaman sekarang !” aihh kejamnya.. ditambah nitijen yang budiman akan berpetuah.. aihh aihh siapa yang berani lawan kebijaksanaan nitijen ? semua akan menyalahkan anda hihh~
Maka dari itu pendidikan gratis saja tidak cukup. Yang juga tidak kalah penting menurut saya adalah perlunya ditumbuhkan pikiran dan perilaku demokrasi dalam sekolah ataupun kampus. Guru atau dosen dan murid atau mahasiswa sama kedudukannya keduanya punya hak untuk didengar dan berbicara serta kewajiban untuk mendengar dan menerima masukan/kritik. Kebebasan mengemukakan pendapat juga harus dijunjung tinggi-tinggi karena dengan begitu ruang untuk berdiskusi dan berdebat akan terbuka sehingga melahirkan keresahan-keresahan yang mengarah pada usaha perbaikan. Kebebasan dalam berpegang pada paham apapun dalam rangka akademik juga harus didukung karena itu dapat menghadirkan perspektif berbeda yang menarik juga saling dibicarakan.
Untuk melahirkan cita-cita itu maka sikap feodal dengan mengkultuskan guru atau dosen dan birokrat kampus, tentu harus ditendang jauh-jauh, karena tentu saja ini hanya akan menghambat saja. Guru-guru atau dosen-dosen serta birokrat kampus yang tetap tertanam dalam pikiran mereka kalau mereka pasti benar dan selalu benar harusnya pensiun dini saja dari pada menghambat kemajuan aihh saya tidak tau pertanggungjawabannya di kubur nanti.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesejahteraan semua yang terlibat dalam proses pendidikan baik itu pendidik, siswa atau mahasiswa, staff sampai yang setia membersihkan lingkungan sekolah dan kampus juga harus dijamin oleh negara agar terpenuhi, dengan begini saya rasa akan tumbuh perubahan kearah pendidikan yang lebih baik.
Salam.
Dari negeri bakso bernama Grobogan, 18/06/2018
Related Posts