DISKUSI ASIK SEJARAH [ STUDENT LOAN : WAJAH KAPITALIS PENDIDIKAN DI NEGERI INI ]
Dalam satu dasawarsa terakhir, dunia pendidikan
di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Banyak
perubahan-perubahan sistem dan kebijakan dalam dunia pendidikan di Indonesia,
baik berupa kebijakan yang dapat dikatakan “Pro Rakyat” hingga kebijakan yang
diibaratkan seperti “meracuni rakyat”.
Akan tetapi, hampir semua kebijakan pemerintah
dalam dunia pendidikan berdampak pada berubahnya tujuan pendidikan yang
sekarang lebih mengarah kepada pendidikan barat yang menekankan individualistik
dan kebebasan individu. Tak hanya itu, pendidikan saat ini seolah menjadi
komoditi pasar yang diperjual-belikan oleh pemerintah terhadap rakyatnya.
Menariknya dalam buku “Politik Pendidikan” karya
Paulo Freire menjelaskan bahwa pendidikan pada masa ini tidak lagi bertujuan
menghasilkan manusia yang humanis tapi malah menghasilkan manusia yang
dehumanis, karena pendidikan hanya menghasilkan orang-orang terlatih seperti
kehendak ekonomi atau politik tertentu. Mengutip dari tulisan “Sarjana Hp
China” karya Luqman Hakim dan Tio Prakoso menyatakan bahwa pendidikan di
Indonesia saat ini seperti pabrik Handphone Cina yang memproduksi produk dalam
jumlah besar namun tidak memiliki kualitas yang baik, ribuan sarjana yang lulus
atau diproduksi oleh perguruan tinggi di Indonesia tapi tidak banyak yang
memiliki kualitas yang memadai, karena kita memasuki masa dimana pendidikan
menjadi produk pasar bukan kebudayaan, apalagi produk intelektual.
Rizky Fajrin Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Univesitas Negeri Jakarta menjelaskan bahwa saat ini tujuan perguruan tinggi di
dunia yang seharusnya menjadi tempat menghasilkan manusia berbudaya seperti
awal perguruan-perguruan tinggi di Jerman kini sudah jauh berbeda, perguruan
tinggi saat ini hanya menciptakan manusia-manusia yang yang berorientasi
ekonomi dan materialistik, perkataan Rizky Fajrin dikutip dari buku yang
berjudul “The University in Ruins” atau Universitas dalam kehancuran karya Bill
Readings.
Dari hal itu, pendidikan di Indonesia semakin
menyulitkan rakyat miskin untuk memperoleh pendidikan yang layak, terutama
pendidikan di perguruan tinggi. Namun, seolah membaca permasalahan yang ada
pemerintah saat ini memcoba memberikan solusi pendidikan dengan meluncurkan
kebijakan “Student Loan” atau “Hutang Pendidikan yang terinspirasi dari
kebijakan-kebijakan negara asing seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Presiden Jokowi menjelaskan dalam pidatonya
bahwa dia meminta perbankan nasional untuk berinovasi mengeluarkan produk
pembiayaan untuk pendidikan atau student loan untuk membantu meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia. Dalam penjelasannya pula Jokowi berharap
dengan adanya student loan makan tingkat kredit masyarakat akan meningkat.
Perlu kita ketahui bahwa sebenernya student loan
bukan hal baru di Indonesia, sebetulnya hal ini pernah dilakukan pada masa Orde
Baru, tepatnya di tahun 1980-an dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).
Namun sayangnya, kebijakan tersebut gagal karena ternyata para nasabah muda
tersebut, tak mampu untuk membayar hutang-hutangnya.
Jika kita lihat fakta diatas bukanlah tidak
mungkin negara ini akan melakukan kesalahan yang sama dalam menerapkan
kebijakan tersebut, meskipun menurut Jokowi Widodo, sistem student loan pada
masa Orde Baru dengan saat ini tentu jelas berbeda. Perbedaan itu terdapat dari
kebijakan pelunasan hutang, jika dulu hutang dibayarkan dengan kesepakatan
jangka waktu tertentu berbeda dengan saat ini, para nasabah muda dapat
membayarkan hutangnya setelah dia lulus dari perguruan tinggi dan mendapatkan
perkerjaan yang layak untuk melunasi hutangnya.
Namun, solusi ini seperti racun bagi rakyat
miskin karena rakyat yang ingin mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi
harus dibebankan dengan hutang kepada bank dengan bunga sekitar 6%, solusi ini
pula seolah menempatkan rakyat miskin ke dalam lingkaran setan yang tidak
berdaya untuk melakukan proses pelunasan hutang.
Beban hutang yang akan ditanggung dari mulai
puluhan hingga ratusan juta ini, masih harus di tambah bunga yang juga
dipengaruhi oleh inflasi dollar. Dengan demikian, bisa kita ketahui bahwa
sebenarnya kebijakan student loan yang dilakukan di Indonesia adalah kebijakan
yang sangat beresiko tinggi, karena para penghutang dituntut komitmen hingga
puluhan tahun untuk melunasi pinjamannya.
Tak hanya itu resiko menjadi pengganguran di
Indonesia menjadi salah satu beban tersendiri bagi para nasabah muda yang
meminjam dana pendidikan student loan, karena faktanya hampir 2,6 juta
mahasiswa lulusan perguruan tinggi di Indonesia belum mendapatkan pekerjaan
setelah menyelesaikan pendidikannya.
Kebijakan student loan seolah mempertengas
perubahan dimensi pendidikan yang ada di Indonesia, dimensi pendidikan di
Indonesia kini sudah jauh berbeda. Dimensi pedagogis pendidikan yang pada
mulanya diharapkan oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi dasar landasan pendidikan
di Indonesia, tapi sekarang dimensi pendidikan sudah mengarah pada politik dan
ekonomi semata. Karena hal tersebut, Indonesia yang mengikat diri pada World
Trade Organization (WTO) sejak tahun 1994, menyetujui dan melaksanakan
kebijakan General Agreement on Trade in Service (GATS), Indonesia bisa dengan
bebas mengkomersialisasikan bidang pendidikan.
Seperti dilansir Pinter Politik, kebijakan
student loan pula dijadikan Jokowi sebagai alat politik untuk mendapatkan suara
generasi muda pada pemilihan presiden di tahun 2019, bila Presiden Jokowi
berhasil menciptakan skema pinjaman dana yang lebih “ramah” entah bagaimana
caranya, tak menutup kemungkinan, pada pemilu 2019 mendatang, Jokowi bisa
lantang menyanyikan lagu Batak yang terkenal Anakkon hi Do Hamoraon di Ahu
(Anakku adalah kekayaanku) bersama para pemilih muda. Dan bilab student loan
gagal, Jokowi hanya akan menyaringkan sebuah nyanyian orang miskin berbunyi,
“Orang hidup dan bekerja untuk membayar hutang”.