”Keselarasan dan Kejanggalan”
Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX
“Pada awalnya mereka memiliki konsep pembaruhuan sosial yang sama memalui jalur politik, akan tetapi mereka berubah dan memiliki pandangannya masing-masing dari mulai kebudayaan, politik radikal hingga pemikiran priyayi sentris”
Oleh: Didit Handika
Buku karya savitri Scherer berjudul “Keselarasan dan Kejanggalan” Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Abad XX, mencoba menjawab berbagai pertanyaan mendasar tentang bagaimana hadirnya sikap nasionalis Indonesia yang berasal dari Jawa pada masa Kolonial Hindia Belanda dan apakah kedua pemikiran tersebut saling mempengaruhi?.
Tulisan awal dalam buku ini menjelaskan adanya dikotomi dalam struktur masyarkat jawa yang dibagi menjadi dua, yaitu Priyayi Birokratis dan Priyayi Profesional. Konsep ini muncul pada tahun 1677 saat Amangkurat II melegitimasi kedudukan ayahnya sebagai raja Mataram atas bantuan Hindia Belanda, karena bantuan tersebut Hindia Belanda bisa dengan bebas ikut campur dalam berbagai kegiataan kerajaan mataram kuno dan juga mempengaruhi sistem birokrasi masyarakat jawa.
Hal itu juga yang mempengaruhi keadaan kehidupan tiga tokoh awal pemikir nasionalis Jawa yang sering disebut sebagai tiga serangkai. Tiga tokoh tersebut adalah Soewardi Soeryaningrat, Cipto Mangoenkusumo dan Soetomo. Mereka memiliki latar belakang keluarga dan sosial yang berbeda namun merasakan suatu penindasan yang sama dilakukan oleh pemerintah kolonial. Soewardi berpikir bahwa dengan cara kebudayaan terutama kebudayaan jawa rakyat akan terbebas dari penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial.
Bagi Soewardi Soeryaningrat, seorang yang lahir dalam golongan aristokrat kerajaan Surakarta. Dia tidak pernah merasakan hak-hak istimewa yang harusnya di miliki oleh keluarga raja Paku Alam V, Soewardi dan Soeryopranoto kakaknya tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk golongan aristokrat, dia hanya bisa bersekolah di Sekolah dokter Jawa atau Stovia karena sekolah ini tidak di pungut biaya sepeser pun. Ketika soewardi bersekolah di STOVIA , dia melihat banyak realitas-realitas kebijakan pemerintah colonial yang menindas rakyat pribumi. Soewardi berpikir bahwa perlunya sebuah pembahruan sosial untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan tindakan pemerintah colonial, untuk mewujudkan hal itu soewardi bersama dengan cipto dan soetomo bergabung ke dalam Boedi oetomo untuk memulai pembaharuan sosial melalui jalur politik radikal.
Namun konsep pemikiran soewardi berubah 180 persen ketika ia diasingkan ke negeri Belanda dikarenakan menulis sebuah kritik terhadap pemeritah kolonial Belanda yang berjudul “Sekiranya Aku Seorang Belanda”. Perubahan haluan pemikiran politik kepada pemikiran kebudaayan yang dilakukan oleh soewardi disebabkan karena melihat realitas rakyat pribumi yang ada di Belanda itu sangat sedikit sekali dan sulit untuk memberikan kesadaran poltik dengan jumlah rakyat yang sedikit.
Berbeda dengan soewardi, Cipto Mangoenkusumo merupakan seorang nasionalis sangat politik radikal, dia yang lahir dari keluarga guru yang tidak mendapatkan posisi strategis birokrasi serta tidak mendpatkan status sosial yang baik dimasyarakat. Dalam buku ini diberikan julukan seorang pembangkang. Rupanya julukan yang disematkan oleh Savitri Schrer merupakan hal yang tepat karena Cipto selalu memandang setiap kebijaksanaan pemerintah Kolonial selalu memiliki kejanggalan untuk rakyat, cipto juga merupakan orang yang anti dengan sistem foedal jawa karena menurutnya semua sistem foedal dan kebijaksanaan pemerintah belanda hanya bertujuan untuk menghancurkan harga diri manusia. Sikap politik radikal cipto tidak pernah berubah meskipun dia diasingkan ke Belanda oleh pemerintah Hindia Belanda, disana dia malah menjadi Redaktur surat kabar De Indier. Sebuah surat kabar yang ditujukan untuk mengkritik dan memberitahukan penindasan-penindasan rakyat jajahan kepada masayarakat belanda.
Mengenai Soetomo, ia dapat merasa damai oleh kenyataan bahwa pada saat itu yang menjadi Gusti kebetulan orang-orang asing, tetapi itu berarti bahwa kemajuan rakyatnya akan terhambat. Tekanan utama dalam pandangan Soetomo adalah kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana ia menulis pandangan-pandangan yang paling banyak di tahun 1930-an, ketika konsep suatu Indonesia merdeka dengan jelas diucapkan oleh banyak pemimpin-pemimpin nasionalis yang lebih radikal. Soetomo bersikap sederhana saja bahwa konsep dengan adanya kerangka suatu negara ekonomiitulah yang harus diciptakan jika suatu makmur yang serasi ingin dicapai seperti sebuah orkes gamelan.
Pemikiran-pemikran soetomo juga lebih mementingkan urusan sosial kaum priyayi saja karena menurutnya ketika kaum priyayi sudah mendapatkan keadilan maka untuk rakyat jawa lainnya dapat diwujudkan.
Pada awalnya mereka memiliki konsep pembaruhuan sosial yang sama memalui jalur politik, akan tetapi mereka berubah dan memiliki pandangannya masing-masing dari mulai kebudayaan, politik radikal hingga pemikiran priyayi sentris. Tiga perspektif nasionalis ini yang dinyatakan oleh Soewardi, Cipto dan Soetomo, mencirikan dan mempengaruhi pemimpin-pemimpin nasionalis jawa yang datang kemudian. Pandangan-pandangan mereka yang lebih bersifat jawa dan lebih priyayi dari pada sikap Indonesia, dapat kita contohkan dalam pandangan Sukarno yang menggunakan ketiga pandangan itu dalam jalan pikiran kehidupan Sukarno.
..............................................................
Related Posts