“Liberalisasi Pendidikan di Indonesia”
Kita memasuki masa dimana pendidikan menjadi produk pasar bukan kebudayaan, apalagi produk intelektual. “Sarjana Hp Cina,” karya Luqman Hakim dan Tyo Prakoso.
Rabu, 21 maret 2018 Badan Eksekutif Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (BEMP Pendidikan Sejarah UNJ) mengadakan diskusi publik dengan tajuk “Liberalisasi Pendidikan” yang dibahas dengan relevansi historis dan krisis sistem pendidikan di Indonesia pada saat ini. Alasan penentuan tajuk tersebut dikarenakan carut-marutnya sistem pendidikan di Indonesia yang tidak menghasilkan kualitas pendidikan yang ideal.
Terdapat 3 pertanyaan yang dibahas dalam diskusi tersebut. Pertama, bagaimanakah idealnya pendidikan yang harus dilaksanakan di Indonesia?. Kedua setujukah kita menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia hanya seperti transaksi jual-beli?. Dan yang ketiga siapakah sebenarnya yang harus berkewajiban menyelenggarakan pendidikan?. Pelaksanaan diskusi ini pada pukul 16.00 WIB, di Arena Prestasi Fakultas Ilmu Sosial (APRES FIS) yang dibuka Oleh Rizky Ade Putra sebagai moderator.
Luqman Hakim, alumni mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini seperti pabrik Handphone Cina yang memproduksi produk dalam jumlah besar namun tidak memiliki kualitas yang baik, ribuan sarjana yang lulus atau diproduksi oleh perguruan tinggi di Indonesia tapi tidak banyak yang memiliki kualitas yang memadai, karena kita memasuki masa dimana pendidikan menjadi produk pasar bukan kebudayaan, apalagi produk intelektual. Pernyataan ini ia kutip dari sebuah tulisan yang berjudul “Sarjana Hp Cina,” karya Luqman Hakim dan Tyo Prakoso.
Luqman, menambahkan bahwa idealnya pendidikan tidak hanya menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang terdidik serta tersertifikasi. Dia menjelaskan konsep tentang pendidikan yang ke indonesiaan, bahwa idealnya pendidikan di Indonesia adalah yang mengajarkan masyarakat Indonesia menjadi manusia yang berbudaya dan bisa memerdekaan dirinya dari penjajahan atas kehidupannya, hal ini adalah konsep yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara seorang Bapak Pendidikan Indonesia. “Di Indonesia itu sulit cari tokoh yang fokus membahas pendidikan paling yang terkenal, ya konsep Ki Hadjar Dewantara,” Kata Luqman.
Nurrul Fikri, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah UNJ, mengatakan bahwa idealnya pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang mampu memimpin dan membuat sebuah penemuan-penemuan yang baru yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. “saya pernah dengar ketika kuliah, kalau pendidikan itu harus menghasilkan pemimpin bukan manusia yang menjadi pengikut,” tutur Fikri.
Sama seperti pendapat Fikri, Isma mahasiswa Prodi Pendidikan Geografi UNJ, menyampaikan bahwa seharusnya pendidikan di negara ini menciptakan orang-orang yang mampu menjadi edukator-edukator yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan secara monoton, tapi bisa jadi teladan dan menjadi pendidik yang memberikan pemahaman tentang arti sesungguhnya pendidikan, agar dapat merubah sistem yang tidak tepat ini.
Namun, dimensi pendidikan di Indonesia kini sudah jauh berbeda. Dimensi pedagogis pendidikan yang pada mulanya diharapkan oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi dasar landasan pendidikan di Indonesia, tapi sekarang dimensi pendidikan sudah mengarah pada politik dan ekonomi semata.
Menurut Luqman, bahwa Perubahan dimensi tersebut, menjadikan pendidikan di Indonesia yang berorientasi pedagogis berubah menjadi pendidikan yang liberal. Faktor lain, Perubahan ini terjadi akibat dampak dari kebijakan World Trade Organization (WTO) tentang General Agreement on Trade in Service (GATS) atau kebebasan perdagangan jasa di dunia, dimana setiap negara yang menjadi anggota WTO dapat meliberalisasikan 12 bidang perdagangan jasa termasuk di bidang pendidikan. “Kenapa negara Indonesia ikut kebijakan WTO? karena negara kita ikut Perjanjian GATS dan banyak hutang asing, jadi mau atau tidak harus tunduk sama peraturannya,” ungkap Luqman mempertegas.
Karena hal tersebut, Indonesia yang mengikat diri pada WTO sejak tahun 1994, menyetujui dan melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan ini timbul karena negara tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga kebutuhan negara dibebankan pada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan negara. Hal ini, menjadikan pendidikan tidak hanya di selenggarakan oleh pemerintah, tapi rakyat berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan.
Padahal negara Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, dimana berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan hajat umum diserahkan dan diatur sepenuhnya oleh pemerintah, Termasuk dalam bidang pendidikan. Akan tetapi, pemerintah dengan berbagai alasan belum mampu untuk menyelenggarakan sarana dan prasarana yang memadai dan terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Didit Handika, Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah UNJ, berpendapat bahwa liberalisasi pendidikan di negeri ini sudah begitu jelas terjadi, dengan sulitnya masyarakat di daerah-daerah terdepan, terluar dan tertinggal untuk mendapatkan pendidikan yang terjangkau dan memadai. Dia menambahkan bahwa pendidikan saat ini sudah seperti barang dagang yang harganya mewah dan hanya bisa dirasakan oleh golongan-golongan masyarakat yang memiliki modal besar untuk membelinya atau adanya elitisme pendidikan.
Bahkan, Didit menyampaikan fakta menarik mengenai banyaknya perguruan tinggi negeri yang kini berstatus Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum Publik (PTNBHP). Didit, menyampaikan data dari Kementerian Riset dan Teknologi, pada tahun 2016 terdapat 11 perguruan tinggi di Indonesia yang berstatus PTNBHP, hal tersebut berdampak terhadap tingginya biaya penerimaan mahasiswa baru ke perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini merupakan salah satu langkah awal privatisasi pendidikan sebagai bentuk liberalisasi. “Teman-teman saya, banyak yang masuk PTN dengan biaya yang berjuta-juta” ungkap Didit.
Biaya pendidikan yang semakin mahal, mengakibatkan banyak masyarakat miskin yang tidak mampu menerima dan mendapatkan pendidikan yang selayaknya. padahal menurut Luqman, seharusnya pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan yang memadai dan terjangkau. “negara ini, banyak kekayaan alamnya. Tapi pemerintah belum bisa mengelolanya dengan baik, bahkan banyak yang dikuasai oleh investor asing” kata Luqman.
Luqman, menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini hanya menawarkan kesetaraan untuk hidup yang lebih baik tapi tidak dimulai dengan kesetaraan. Hal ini, menjadikan manusia lupa dengan kesetaraan terhadap sesama manusia dan berpendidikan bukan lagi untuk memanusiakan dirinya, tapi hanya menjadi alat mendapatkan pekerjaan untuk menganti biaya yang telah dikeluarkan selama menempuh pendidikan. “pendidikan yang diawali kesetaraan akan menghasilkan manusia yang berbudaya dan tidak menganggap rendah manusia lain, karena setiap manusia memiliki hak dasar yang sama untuk hidup,” tutur Luqman.
https://gerakanaksara.blogspot.co.id/2013/03/sarjana-hape-cina.html?m=0
Related Posts